Permasalahan seorang perempuan yang bekerja dalam pandangan masyarakat kita yang muslim, membawa sebuah gambaran dimana kebenaran dan kesalahan saling tumpang tindih di dalamnya, kejujuran dan kecurangan menjadi samar, terdapat kelalaian yang melebihi batas, dan penyimpangan. Sebagian kelompok berpendapat untuk mengunci perempuan di dalam rumah dan melarangnya keluar, meskipun untuk melakukan pekerjaan yang dapat membantu masyarakat. Karena mereka menganggap hal tersebut telah keluar kodrat dan fitrah yang telah Allah SWT ciptakan pada diri seseorang perempuan, dan dapat menyebabkan lepas dari tangung jawab rumah tangga dan bisa menghancurkan keutuhan keluarga.
Mereka menilai bahwa kesalehan perempuan bisa dibuktikan ketika dia keluar rumah dua kali, pertama, keluar dari rumah ayahnya menuju rumah suaminya. Kedua, dari rumah suaminya menuju kuburannya. Padahal Al-Quran menjadikan kurungan rumah bagi perempuan hanya sebagai hukuman bagi mereka yang telah melakukan tindakan zina dengan disaksikan empat orang muslim. Hukuman ini berlaku sebelum ditetapkannya hukuman berzina yang terkenal itu. Allah SWT berfirman :
“Dan (terhadap) para perempuan yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi kesaksian, maka kurunglah mereka (perempuan-perempuan itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya.” (QS An-Nisa : 15)
Kelompok lain berpendapat untuk membukakan pintu secara bebas kepada perempuan untuk keluar rumah tanpa norma dan ikatan, dan melepaskan pengawasan terhadapnya agar dia bisa berbuat sesuai dengan kehendaknya tanpa syarat dan batasan, sebagaimana keadaan perempuan Barat.
Sedangkan Islam tidak menyetujui pendapat pertama dan kedua dan tidak menerima jika seseorang memberikan dua pilihan buruk: Mengurung perempuan didalam rumah hingga ia masuk kuburan, atau melepaskannya bekerja tanpa syarat dan batasan dan berperilaku persis seperti perempuan Barat. Islam adalah aturan hidup yang tidak mengendaki dua pilihan buruk itu. Islam adalah jalan tengah dan metode moderat yang menjunjung tinggi derajat dan kehormatan perempuan sesuai karakternya yaitu sebagai perempuan, putri, istri, ibu, dan anggota masyarakat. Lebih dari itu, Islam menjunjung kehormatannya sebab status kemanusiaan yang telah dianugrahkan Allah SWT kepadanya melebihi mahkluk yang lain. Jika perempuan, dari sisi statistik, adalah separuh bagian masyarakat, maka ia lebih dari separuh dari sisi pengaruhnya terhadap suami, anak, dan lingkungannya.
Hak Perempuan untuk Bekerja
Lelaki memiliki tugas asasinya dalam mencari rezeki, menafkahi istri dan anak-anaknya, dan menyediakan faktor-faktor kehidupan yang terhormat bagi mereka sedangkan perempuan memiliki tugas asasinya dalam menciptakan ketenangan suami dan menjaga rumah. Inilah tugas pertama dan utama perempuan yang tidak terbantahkan dan tidak ada seseorang pun yang dapat menandinginya. Dialah yang mendidik generasi bangsa dan tidak ada orang lain yang mampu menjalankannya dan menggantikannya dalam tugas mulia ini. Dimana masa depan sebuah bangsa bertumpu kepadanya dan putra-putri bangsa dididik dan dibangun sebagai sumber daya manusia yang paling agung.
Dalam al-Mawsủ’ảt al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah dijelaskan bahwa tugas mendasar seorang perempuan adalah mengatur urusan rumah, merawat keluarga, mendidik anak, dan berbakti kepada suami. Nabi bersabda, “Perempuan itu mengatur dan bertanggung jawab atas urusan rumah suaminya.” (HR al-Bukhảri).
Jika tugas yang dibebankan Allah SWT kepada perempuan, baik secara fisik maupun kejiwaan adalah menjadi perempuan karier di dalam rumah tangga dengan mendidik generasi bangsa, mengelola rumah tangga, dan membangun keluarga menjadi terlarang di mata syariat Islam. Tidak ada seorangpun yang bisa mengharamkan sesuatu, kecuali dengan bukti nash syariat Islam yang benar sumbernya dan jelas petunjuknya, sebab hukum dasar setiap tindakan dan segala sesuatu dalam Islam adalah halal dan diperbolehkan.
Perempuan tidak dituntut memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri karena sudah merupakan kewajiban ayah atau suaminya. Karena itu, wilayah kerja perempuan hanya di rumah. Pekerjaannya mengurus rumah saja dengan pekerjaan para mujahidin yang berjuang di jalan Allah. Meski demikian, Islam tidak melarang perempuan bekerja. Mereka boleh melakukan jual-beli atau usaha dengan harta pribadinya. Tidak seorang pun melarang mereka selama mengikuti rambu-rambu yang telah ditetapkan oleh agama. Atas dasar ini, mereka diperbolehkan untuk memperlihatkan wajah saat melakukan transaksi jual beli atau kedua telapak tangan ketika memilih, mengambil dan memberikan barang dagangan.
Dalam Nihảyah al-Muhtảj dijelaskan, “Apabila seorang suami tidak memberi nafkah pada istrinya, maka sang istri boleh mengabaikan suaminya selama tiga hari, boleh menggugat cerai pada hari keempat dan boleh keluar rumah untuk bekerja mencari nafkah pada waktu tiga hari itu. Adapun sang suami tidak boleh melarangnya keluar rumah karena hak untuk melarang telah gugur ketika tidak ada pemberian nafkah.”
Dalam Muntahả al-Irảdảt disebutkan, “Apabila seorang suami tidak bisa memberi nafkah pada istrinya, maka istri berhak menentukan dua pilihan antara mengajukan gugatan cerai atau tetap tinggal bersama suami dengan tanpa melayaninya. Jika sang istri secara sukarela masih mau melayani suaminya, maka sang suami tetap tidak boleh melarangnya bekerja keluar rumah atau terus mengikatnya dalam ikatan pernikahan. Mengikat sang istri dalam ikatan pernikahan tanpa diberi nafkah tentu akan membahayakan jiwa istri, baik saat itu istrinya kaya atau miskin. Pasalnya, hak suami untuk tetap mempertahankan pernikahannya tergantung penuh pada pemberian nafkah kepada istrinya.”
Islam telah memberikan perempuan sebuah peran dalam aktivitas kehidupan umum, bersanding sejajar dengan lelaki selama dia menjaga aturan-aturan agama Islam . Al-Quran telah menyatakan :
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka meyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang mungkar.....”(QS At-Taubah : 71)
“Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan. sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang Munkar dan melarang berbuat yang ma'ruf dan mereka menggenggamkan tangannya1. mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itu adalah orang-orang yang fasik”. (QS. At-Taubah: 67)
Dengan asas ini, maka hakikat perempuan bekerja adalah berhukum mubah. Sudah menjadi keharusan seseorang perempuan muslimah untuk menjadi perempuan karier. Dan Islam tidak menghalanginya dari tugas wajib ini, sebab tugas ini sudah menjadi sesuatu yang sunah atau wajib jika terdapat kebutuhan yang mendesak, bagi bersifat pribadi, keluarga atau masyarakat. Mungkin seorang perempuan tidak memiliki orang yang menafkahinya, sedangkan dia mampu melaksanakan sebuah pekerjaannya dari kehinaan meminta-minta. Mungkin juga motif keluarga yang mendorongnya untuk harus bekerja, seperti membantu , atau mendidik anak-anaknya atau anak saudara-saudaranya, atau membantu bapaknya yang sudah tua. Dan mungkin juga sebuah masyarakat membutuhkan jasanya sebagaimana para dokter perempuan, para perawat, para pengajar siswa-siswi atau yang berprofesi ekonomi yang sesuai dengan tabiatnya.